INFEKSI NOSOKOMIAL
A.
Pengertian
Infeksi adalah proses dimana seseorang rentan (susceptible)
terkena invasi agen patogen atau infeksius yang tumbuh, berkembang biak dan
menyebabkan sakit. Yang dimaksud agen bisa berupa bakteri, virus, ricketsia,
jamur, dan parasit. Penyakit menular atau infeksius adalah penyakit tertentu
yang dapat berpindah dari satu orang ke orang lain baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Istilah
infeksi nosokomial berasal dari kata Greek nosos
(penyakit) dan komeion (merawat). Nosocomion
(atau menurut Latin, nosocomium)
merupakan arti rumah sakit. Secara umum definisi infeksi nosocomial yang telah
disepakati yaitu setiap infeksi yang di dapat selama perawatan di rumah sakit,
tetapi bukan timbul ataupun pada stadium Inkubasi pada saat masuk dirawat di
rumah sakit, atau merupakan infeksi yang berhubungan dengan perawatan di rumah
sakit sebelumnya.
Menurut
Centers for Disease Control and
Prevention, 1988, suatu infeksi dikatakan di dapat di rumah sakit apabila,
a. Pada
waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda
klinis dari infeksi tersebut
b. Tanda-tanda
klinis infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya setelah 2x24 sejak mulai
perawatan
c. Infeksi
tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya
d. Bila
saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan terbukti
infeksi didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu
yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.
Menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993, infeksi dikatakan infeksi
didapatkan di rumah sakit apabila,
a. Pada
saat masuk rumah sakit tidak ada tanda/ gejala atau tidak dalam masa inkubasi
infeksi tersebut
b. Infeksi
terjadi 3x24 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit atau,
c. Infeksi
pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme yang berbeda dari
mikroorganisme pada saat masuk rumah sakit atau mikroorganisme penyebab sama
tetapi lokasi infeksi berbeda. (Sumarno S. Poorwo, Infeksi dan Pediatri Tropis,
2012)
B.
Epidemiologi
Tujuan
mengetahui epidemiologi infeksi rumah sakit ialah untuk memahami faktor-faktor
yang berhubungan dengan infeksi nosokomial dan mengontrol infeksi. Kontrol
terhadap infeksi menjadi efektif apabila berdasarkan atas pengetahuan mengenai
permasalahan yang jelas (insidensi dan prevalensi infeksi nosokomial),
orang-orang yang mempunyai risiko tinggi terkena infeksi, sumber yang potensial
untuk terjadi infeksi, dengan cara penularannya.
Frekuensi
infeksi nosokomial umumnya dinyatakan sebagai prevalensi (rasio antara jumlah
infeksi terhadap jumlah orang yang mempunyai risiko pada suatu titik waktu),
atau insidensi (rasio antara jumlah infeksi baru terhadap jumlah orang yang
mempunyai risiko selama periode waktu tertentu). Prevalensi dinyatakan sebagai
jumlah infeksi per 100 kasus yang dirawat pada suatu waktu tertentu, sedangkan
insidensi dinyatakan sebagai jumlah infeksi per 100 kasus yang dirawat atau
dipulangkan sesudah suatu periode waktu. Keseluruhan angka infeksi dipengaruhi
oleh berbagai faktor, yaitu umur, jumlah pasien, frekuensi pemakaian alat-alat
medik, dan efektivitas program surveilans.
Infeksi
rumah sakit sering terjadi pada pasien berisiko tinggi yaitu pasien dengan
karakteristik usia tua, berbaring lama, penggunaan obat imunosupresan dan
teroid, daya tahan turun pada luka bakar, pada pasien yang dilakukan prosedur
diagnostik invasif, infus lama atau pemasangan keteter urin yang lama dan
infeksi nosokomial pada luka operasi. Sebagai sumber penularan dan cara
penularan terutama melalui tangan, melalui jarum suntik, kateter intravena,
kateter urin, kain kasa/ verban, cara keliru dalam menangani luka, peralatan
operasi yang terkontaminasi, dll.
d. Di
Amerika Serikat 2-6% pasien yang dirawat terkena infeksi nosocomial (Tabel 1).
Angka infeksi bervariasi tergantung dari efisiensi system surveilans dan tipe
rumah sakit. Data nasional dikumpulkan oleh National
Nosocomial Infectious Surveillance System (NNIS), mencakup kurang lebih 120
rumah sakit dari setiap tipe. (Sumarno S. Poorwo, Infeksi dan Pediatri Tropis,
2012)
Tabel 1. Angka infeksi
nosokomial menurut pelayanan 1986-1990
Pelayanan
|
Infeksi
per 100 pasien yang dipulangkan
|
Infeksi
per 1000 patient-day
|
Penyakit dalam
|
3,5
|
5,7
|
Onkologi
|
5,1
|
8,1
|
Unit luka bakar
|
14,9
|
11,9
|
Operasi jantung
|
9,8
|
9,8
|
Ortopedi
|
3,9
|
5,8
|
Mata
|
0,0
|
0,0
|
Kebidanan
|
0,9
|
5,0
|
Anak (umum)
·
Kamar
bersalin risiko tinggi
·
Kamar
bersalin bayi sehat
|
0,4
14,0
0,4
|
0,9
9,9
1,1
|
C.
Patofisiologi
a.
Interaksi
Pejamu dan Patogen
Kebanyakan
infeksi nosokomial adalah infeksi oportunistik ialah infeksi yang disebabkan
oleh organisme yang mempunyai patogenisitas rendah
b.
Faktor
Pejamu
Makin
bertambah faktor risiko, makin besar pula kemungkinan timbulnya infeksi
nosokomial, dan sering terdapat risiko multipel. Misalnya seorang anak dengan
leukemia limfoblastik akut mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya
infeksi traktus urinarius sebagai akibat pemasangan kateter urin dibandingkan
dengan anak sehat lain dengan kateter urin yang dipasang selama waktu yang
sama.
Di
ruang perawatan anak, umur merupakan faktor risiko yang penting. Neonates,
dengan system imun yang imatur umumnya merupakan pejamu yang sensitif, dan
kejadian infeksi nosokomial biasanya tertinggi pada bayi baru lahir yang
dirawat di ruang perawatan intensif bayi baru lahir (NICU). Berat badan lahir
rendah dan prematuritas merupakan faktor tambahan yang meningkatkan risiko
terjadinya infeksi nosokomial. Bayi risiko tinggi seperti ini memerlukan
perawatan di ruang perawatan intensif bayi baru lahir. Mereka banyak memerlukan
alat penunjang kehidupan seperti selang endotrakeal, ventilator, kateter
intravena dan intraarterial, jarum elektroda kulit, semua peralatan tersebut
dapat merupakan sumber terjadinya infeksi nosokomial. Faktor-faktor tersebut
secara bersama-sama menimbulkan angka infeksi nosokomial yang tinggi di ruang
perawatan intensif bayi. (Sumarno S. Poorwo, Infeksi dan Pediatri Tropis, 2012)
D. Mikroorganisme Patogen
yang Terlibat
Infeksi
nosokomial dapat disebabkan oleh setiap mikroorganisme patogen (bakteri, virus,
fungi dan protozoa). Sering disebabkan oleh bakteri yang berasal dari flora
endogen pasien sendiri. Faktor-faktor seperti pengobatan dengan antibiotik, uji
diagnostik dan pengobatan yang invasif, penyakit dasar, bersama-sama mengubah
flora endogen pasien selama dirawat. Dari data yang banyak dilaporkan,
stafilokokus, strepkokus dan basili Gram negatif berperan dalam infeksi
nosokomial. Di kamar bersalin risiko tinggi, stafilokokus dengan koagulase
negatif merupakan bakteri patogen utama, terutama pada bacteremia. Streptokokus
grup B, enterokokus dan S. aureus juga
merupakan patogen yang penting. Di antara basili Gram-negatif, E. coli, spesies enterobakter dan Klebsiela pneumoniae merupakan patogen
nosokomial yang paling sering.
Resistensi terhadap antimikroba
sering terjadi di antara bakteri yang menimbulkan infeksi nosokomial. Galur S. aureus yang resisten terhadap semua
antibiotik beta-laktam (aminoglikosida dan macrolide)
dikenal sebagai methicillin-resistant S.
aureus (MRSA). Kebanyakan isolat S.aureus
koagulase negatif resisten terhadap antibiotik beta-laktam. Vankomisin
menjadi obat terpilih untuk infeksi stafilokokus di rumah sakit yang resisten
terhadap beta-laktam. Virus juga dapat menyebabkan infeksi nosokomial, yaitu
pneumonia dan infeksi saluran nafas bagian atas pada bayi dan anak kecil
disebabkan respiratory syncytial virus
(RSV). Virus penyebab lain pneumonia nosokomial adalah influenza, herpes
simpleks, varisela, adenovirus dan sitomegalovirus. Virus herpes merupakan
penyebab utama infeksi nosokomial pada kulit, sedangkan rotavirus merupakan
penyebab utama nosokomial gastroenteritis, juga parvovirus di bangsal anak.
Pada kasus imunokompromais, fungi (terutama candida, aspergillus dan mukor) dan
virus (terutama sitomegalovirus dan virus herpes) merupakan patogen nosokomial
yang penting.
Pasien rawat inap sering mendapat
flora endogen sekunder di rumah sakit. Tersering flora ini berasal dari pasien
lain melalui petugas rumah sakit. Makanan, air minum, dan sumber bakteri dari
lingkungan memegang peran yang lebih kecil dalam penyebaran patogen nosokomial.
Kebanyakan infeksi nosokomial adalah autochthonus
(berasal dari flora endogen pasien), tetapi infeksi silang antara pasien
yang dirawat juga dapat terjadi. Infeksi silang dapat terjadi melalui penularan
langsung (kontak atau udara) atau tidak langsung (orang ke benda ke orang, atau
benda ke orang).
Kontak
tidak langsung menyebar melalui tangan petugas rumah sakit yang merupakan
penularan patogen rumah sakit yang paling sering. Bakteri ini biasanya menetap
sementara di tangan petugas, tetapi bukan karier. Penularan tersebut dapat
dicegah dengan cuci tangan yang adekuat. Banyak contoh kejadian luar biasa
nosokomial yang terjadi karena kontak tidak langsung atau langsung melalui
penyebaran orang ke orang, misalnya hepatitis B, sepsis terjadi melalui larutan
intravena yang tercemar, salmonelosis karena kontaminasi selang sonde, dan
penularan melalui udara akibat tuberculosis dan morbili, tetapi yang jauh lebih
penting adalah penyebaran mikroorganisme secara langsung. (Sumarno S. Poorwo,
Infeksi dan Pediatri Tropis, 2012)
E. Faktor - Faktor Yang
Menyebabkan Infeksi Nosokomial
Menurut
Darmadi (2008) dan Trilla (2005) terdapat faktor-faktor lain yang juga berperan
memberi peluang timbulnya infeksi nosokomial, faktor-faktor tersebut adalah
sebagai berikut :
1.
Faktor-faktor yang ada pada diri penderita (faktor intrinsik) seperti umur,
jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain
yang menyertai penyakit dasar (multipatologi) beserta komplikasinya.
Faktor-faktor ini merupakan presdiposisi.
2.
Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan, menurunnya standard
pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan.
3.
Faktor mikroba patogen seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan
merusak jaringan, lamanya pemaparan antara sumber penularan (reservoir) dengan
penderita.
F.
Infeksi
Nosokomial yang Sering Terjadi
Infeksi
nosocomial yang sering terjadi dapat dibagi menjadi infeksi nosocomial di semua
tipe runagan rumah sakit, di ruang anak, dan di ruang bayi.
1.
Infeksi
Nosokomial di Ruangan Rumah Sakit
Infeksi nosokomial di
ruang rumah sakit pada umumnya dapat terbagi dalam infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, infeksi luka operasi, infeksi kateter intravena (infeksi
luka infus), dan lain-lain.
a.
Infeksi
saluran kemih
Dari laporan
penelitian, tercatat infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi nosokomial
yang paling sering terjadi, lebih kurang 40% dari seluruh infeksi nosokomial,
walaupun demikian biaya dan lama perawatan ISK di rumah sakit lebih kecil
daripada pneumonia dan bacteremia terutama di ruangan anak.
Infeksi nosokomial
saluran kemih dapat terjadi sebagai akibat berbagai tindakan manipulasi saluran
kemih, seperti dilatasi uretra, sikanistoskopi, nefrostomi, pielografi retrogad
atau paling sering setelah pemasangan kateter urin. Bila mungkin pemasangan
kateter indwelling haruslah dicegah,
dan hanya dikerjakan bila benar-benar diperlukan, kateter urin harus segera
dilepaskan bila tidak diperlukan lagi. Untuk pasien yang memerlukan drainase
kandung kemih untuk waktu yang lama, lebih disukai drainase kateter kontinyu
untuk mencegah komplikasi sepsis. Risiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih
sesudah keteterisasi tunggal ke kandung kemih lebih kurang 1-2%. Penelitian
memperlihatkan bahwa pemasangan kateter indwelling
terbuka meninggikan risiko infeksi, mencapi 100% dalam waktu 4-5 hari. Dengan
memakai sistem drainase tertutup yang steril, risiko untuk terjadinya
bakteriura menurun secara bermakna untuk minggu pertama atau ke-2. Ulserasi
mukosa ureter dan kandung kemih karena tekanan dan pergerakan keteter maju
mundur menimbukan kolonisasi traktus urinarius. Bakteri dapat menjalar arah
uretra sekitar kateter, mungkin sampai ke kandung kemih melaui aliran limfe
periuretara, atau lumen kateter.
Infeksi silang dari
satu pasien ke pasien lainnya dapat terjadi melalui tangan para petugas rumah
sakit yang terlibat dalam pemasangan kateter dan manipulasi. Kuman yang
menimbulkan infeksi saluran kemih bervariasi luas tergantung riwayat infeksi
pemakaian alat atau pengobatan. Oleh karena infeksi silang sering terjadi pada
pasien yang mendapat kateterisasi, maka
galur rumah sakit yang prevalen dapat berperan. Enterobakteria, enterokoki,
pseudomonas, dan jamur berperan untuk sebagian besar infeksi nosokomial saluran
kemih. Salep antibotik, kateter yang sudah diresapi antibotik, dan pemberian
antibiotik pada meatal cateheter junction
tidak membuktikan dapat mencegah infeksi. Pemberian antibotik profilaksis
secara sistemik umumnya tidak berhasil mencegah infeksi saluran kemih untuk
lebih dari beberapa hari dan dapat meninggikan timbulnya resistensi terhadap
mikroorganisme. Maka pada pasien yang memakai kateter janka panjang, pemberian
antibiotic sistemik hanya di berikan pada pengobatan infeksi saluran kemih yang
sistomatik.
Komplikasi utama
infeksi traktus urinarius ialah sepsis. Saluran kemih merupakan tempat utama
masuknya bakteria Gram-negatif ke dalam darah. Sepsis akibat infeksi saluran
kemih pada orang dewasa menyebabkan mortalitas yang tinggi, umumnya bervariasi
antara 20-50%. Penyulit potensial lain dari kolonisasi saluran kemih ialah
terjadinya infeksi saluran kemih simtomatik akut atau kronik, dan terjadinya
supuratif seperti abses periuretra atau perinefrik.
b. Infeksi
luka operasi
Akhir
abad ini infeksi pasca operasi telah menurun secara bermakna; nama, infeksi
pasca operasi tetap sebagai morbiditas dan mortalitas yang bermakna dan
menduduki peringkat ke-2 infeksi nosokomial di rumah sakit. Sekitar 75% kasus
infeksi luka nosocomial tidak terdeteksi sampai dipulangkan dari rumah sakit.
Faktor terpenting yang mempengaruhi infeksi luka operasi nosocomial ialah
kesehatan pasien secara umum dan apakah prosedur operasi tersebut termasuk
kategori operasi bersih (membrane mukosa tidak dilakukan transeksi dan tidak
dijumpai peradangan) atau operasi kotor (misalnya perforasi dari viskus atau
adanya pus dalam luka). Perpanjangan operasi di luar waktu biasa yang
diperlukan untuk prosedur tertentu juga mempunyai risiko infeksi. Tabel berikut
memperlihatkan faktor risiko umum dan local yang diketahui merupakan predisposisi
untuk terjadinya infeksi pasca operasi.
Faktor Risiko Infeksi
Luka Operasi
Faktor
umum
|
|
Faktor
lokal
|
|
Risiko infeksi luka
sesudah operasi yang selektif dan bersih relatif rendah, sedangkan faktor
risiko yang paling bermakna ialah lamanya prosedur operasi. Kebanyakan infeksi
luka operasi terjadi 3-7 hari pasca operasi. Infeksi pasca operasi yang terjadi
dini (terjadi dalam waktu 24-48 jam sesudah operasi) seringkali disebabkan oleh
Streptococcus grup A atau spesies
klostridium. Infeksi luka operasi karena stafilokokus biasanya terjadi sekitar
4-6 hari sesudah operasi dan yang disebabkan oleh basili Gram-negatif mungkin
tidak terjadi dalam satu minggu atau lebih. Supurasi luka diambil sebagai bukti
infeksi luka. Stafilokokus, enterobakteria, pseudomonas, dan bakteri anaerob
turut berperan.
Kebanyakan infeksi
pasca operasi disebabkan oleh flora pasien sendiri. Secara umum bakteri masuk
ke dalam luka selama operasi. Peran mikroorganisme dalam udara pada infeksi
luka operasi masih dipertentangkan, tetapi kebanyakan peneliti mempercayai
hanya sedikit berperan. Antibiotik perioperatif dibuktikan mengurangi insidens
infeksi luka operasi dalam keadaan yang bervariasi. Walaupun hasilnya paling
dramatis pada operasi kotor, keuntungan telah dibuktikan juga pada prosedur
operasi bersih yang umumnya berisiko rendah (seperti operasi hernia).
Prinsipnya pemakaian jangka pendek antibiotik profilaksis (24 jam atau kurang)
dimulai sebelum operasi, dan mengatur agar kadar antibiotik darah efektif
selama prosedur operasi dilakukan.
c. Infeksi
Saluran Nafas
Infeksi saluran nafas
yang disebabkan oleh bakteri terjadi pada 0,5-5,0% pasien yang dirawat. Pada
sebagian besar penelitian infeksi nosocomial, infeksi saluran nafas dapat
menempati urutan ke-3 dari insidens seluruh infeksi nosocomial. Infeksi saluran
nafas sering berat, mortalitas infeksi nosocomial saluran nafas melebihi
mortalitas infeksi dari organ lain. Faktor yang berperan terhadap infeksi nosocomial
saluran nafas termasuk umur (sangat muda atau sangat tua), hygiene gigi yang
buruk, beratnya underlying disease, lama
perawatan, anestesia umum, intubasi endotrakea, trakeostomi, pengobatan
inhalasi, bendungan jantung, pengobatan antibiotik dan kolonisasi saluran nafas
oleh basil Gram-negatif.
Flora mikroba dari
mulut dan faring dari pasien sakit berat atau dirawat lama, mengandung sejumlah
basili Gram-negatif yang bertambah. Mikroorganisme ini didapat dari lingkungan
rumah sakit umum, yaitu makanan, air, alat-alat, air cucian, dan tangan para
petugas rumah sakit. Saluran cerna merupakan reservoir penting untuk patogen
nosocomial. Perhatian telah difokuskan pada meningkatnya flora bakteri.
Pergeseran dalam flora oleh Gram-negatif batang dan jamur dapat terjadi karena
pengobatan antibiotic. Aspirasi partikel infeksius atau pengobatan inhalasi
dapat menyebabkan partikel infeksius itu masuk ke dalam paru. Kombinasi dari
setiap faktor predisposisi ini dapat menimbulkan infeksi saluran nafas bagian
bawah.
Kebanyakan infeksi
saluran nafas disebabkan oleh basil Gram-negatif usus (klebsiela, enterobakter,
seratia, E.coli, dan proteus) dan
pseudomonas. Basil Gram-negatif lain yang berhubungan dengan air, seperti
asinetobakter, flavobakterium, dan alkaligenes, juga dapat terlibat. Disamping
bertambahnya frekuensi pneumonia karena basil Gram-negatif, Staphyllococcus aureus koagulase
negatif, enterokokus dan streptokokus lain tetap penting sebagai penyebab
infeksi nosocomial pneumonia. Spesies legionela sering terdapat pada persediaan
air di rumah sakit. Air steril, pembatasan pemakaian nebulizer, prosedur desinfektan modern, pemakaian disposable dan reservoir air panas superheating semuanya berguna dalam
penurunan penyebaran spesies legionella.
d. Bakteremia
dan Infeksi Nosokomial pada Kateter Intravena
Pada tahun 1962
program pengendalian infeksi di rumah sakit di Amerika Serikat tidak dapat
membuktikan bahwa pemberian intravena sebagai sumber infeksi nosokomial.
Penelitian perspektif menandakan bahwa hasil biakan positif dari kanula
bervariasi antara 8,5-11,5% untuk jarum metal, dan 3,8-57% untuk kateter
plastik. Kejadian sepsis dalam klinik lebih rendah, bervariasi sebesar 8%
(rata-rata 2% untuk pemasangan IV 48 jam atau lebih). Infeksi yang berhubungan
dengan IV terjadi lebih kurang 5% dari semua infeksi nosocomial, dan lebih
kurang 10% dari biakan darah positif yang disebabkan oleh kontaminasi pemberian
IV.
Mikroorganisme
dapat masuk pada setiap tempat sepanjang pemasangan kateter IV atau sebagai
akibat manipulasi sesudahnya. Kontaminasi dapat terjadi pada setiap tempat
sepanjang selang, tempat selang bertemu dengan kanula, atau tempat bertemu
antara jarum dengan botol/kantung. Cairan IV jarang terkontaminasi pada saat
pembuatannya di pabrik, pada saat penambahan obat-obatan sebelum dipakai, atau
sebagai akibat kontaminasi waktu sedang dipakai. Bakteri yang paling berperan
pada terjadinya infeksi IV ialah stafilokokus (S. aureus dan S. epidermidis),
spesies klebsiela (klebsiela, enterobakter, dan seratia), enterokokus dan Pseudomonas aeruginosa.
Cara
mengurangi Infeksi pada Pemasangan Kateter Intravena
Untuk mengurangi
terjadinya infeksi pada pemasangan kateter IV, tentukan indikasi yang tegas, kemudian
perhatikan hal-hal yang berhubungan dengan a- dan antiseptic sebagai berikut.
·
Bila memungkinkan
pergunakan jarum stainless steel dibandingkan
kateter plastic
·
Pasanglah kanula secara
steril, termasuk cuci tangan, sarung tangan steril
·
Lakukan desinfektans
secara adekuat pada tempat pemasangan kateter IV, dapat digunakan iodine tincture 1% atau 2% untuk 30
detik diikuti dengan alkohol 70%, dapat pula mempergunakan alcohol 70% diikuti
pemakaian iodofor, atau alcohol 70% lebih lama (>1 menit)
·
Cegah cara maju mundur
kateter saat pemasangan
·
Pakailah kain steril di
atas pemasangan kateter IV
·
Gantilah kateter IV
setiap 48 jam
e.
Infeksi
Nosokomial Pasca Prosedur Bedah
Infeksi nosokomial
pasca prosedur bedah terdiri dari operasi kardiovaskular, operasi neurologik
dan operasi ortopedi.
1. Operasi
Kardiovaskular
Pasien penyakit
jantung bawaan (PJB) mempunyai risiko tinggi untuk terjadi infeksi respiratory syncytial virus (RSV) yang
berat. Infeksi nosocomial ini terjadi karena organisme mencapai tempat infeksi
selama dilakukan operasi atau pada periode pasca operasi sebagai akibat
bacteremia pada pemasangan kateter IV, atau infeksi kateter intrakardia
transtorakal. Sedangkan infeksi yang terjadi lambat, kurang fatal (CFR kurang
lebih 30%) dan biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang berhubungan dengan
endocarditis subakut yang disebabkan oleh streptokokus alfa hemolitik,
enterokokus, walaupun stafilokokus dan basil Gram-negatif juga dapat berperan
pada sejumlah kasus.
2. Operasi
Neurologik
Meningitis pasca
operasi, meningitis dan ventrikulitis berhubungan dengan pemasangan kateter indwelling untuk monitor, dan infeksi pirau
serebrospinalis adalah penyebab penting morbiditis infeksi nosokomial di
ruangan bedah saraf. Sebagian besar infeksi luka superfisial sesudah operasi
saraf disebabkan oleh S. aureus atau S.
epidermidis. Infeksi operasi yang lebih dalam, termasuk meningitis, lebih
sering disebabkan oleh basil enterik Gram-negatif dan pseudomonas.
3. Operasi
ortopedi
Kebanyakan
infeksi ortopedi terjadi akibat infeksi endogen dari flora kulit pasien sendiri
pada waktu operasi. Walaupun demikian pentingnya, dalam kepustakaan kontaminasi
luka melalui udara tetap diperdebatkan. Pada keadaan yang jarang penyebaran
endogen dari focus infeksi yang jauh dapat terjadi. S. aureus penyebab tersering pada infeksi ortopedi. Kuman nosokomial
lain yang penting termasuk S. epidermidis, basil enterik Gram-negatif,
pseudomonas dan enterokokus.
Pemberian
antibiotik aktif pra-operasi terhadap stafilokokus menjadi standar untuk berbagai
prosedur ortopedi elektif, walaupun efikasi profilaksis seperti itu untuk
banyak prosedur bersih belum dibuktikan secara konklusif dan regimen obat yang
biasa tidaklah efektif untuk stafilokokus yang resiten terhadap metasilin
2. Infeksi Nosokomial di Ruang Perawatan Anak
Infeksi
Nosokomial di Ruang perawatan anak yang terbanyak adalah infeksi virus baik
pada saluran nafas maupun saluran cerna.
a. Infeksi
Saluran Nafas
Sejumlah
virus dapat berperan pada kejadian luar biasa infeksi nosokomial diruang perawatan
anak, terutama pada kasus imunosupresif. Karena terbatasnya pengobatan yang
efektif dan spesifik untuk kebanyakan virus, perhatian yang lebih besar
ditunjukkan terhadap pencegahan dan kontrol secara epidemiologik. Pada infeksi
nosokomial yang disebabkan virus, RSV merupkan penyebab yang terpenting dan
dapat menimbulkan apnea serta kematian yang tidak disangka pada neonatus,
infeksi yang berlansung lama pada pasien dengan imunoikompromais, ISPA berat
pada anak dengan fungsi jantung atau pernafasan yang marginal, serta
bronkiolitis pada bayi normal. Selama epidemi RSV, sering terjadi infeksi
nosokomial. Tangan petugas rumah sakit tampaknya sangat berperan pada
penyebaran RSV. Sedangkan infeksi nosokomial virus yang sering mengenal saluran cerna adalah
rotavirus.
b. Infeksi
Gastrointestinal
Manifestasi
infeksi nosokomial saluran cerna yang paling sering terjadi adalah diare atau
kombinasi diare dan muntah-muntah, terjadi melalui oro-fecal route, walaupun melalui makanan dan airpun dapat terjadi.
Mikroorganisme
yang berperan pada nosokomial saluran cerna ialah E.coli, kamfilobakter, salmonela,dan shigela. Enterokolitis pasca
operasi dan pada neonatus terjadi karena overgrowth dari Clostridium difficile atau patogen lain. Hubungan antar jalur E.coli tertentu dengan diare infantil
diperkirakan telah diketahui sejak tahun 1923. Pada akhir tahun 1940, ditemukan
serotipe E.coli spesifik pada
kejadian luar biasa penyakit diare dikamar bayi, dan serotipe ini dikenal
sebagai Enteropathogenic E.coli
(EPEC). Seluruh enterotoksin telah dibuktikan menyebabkan penyakit diare pada
manusia dan ada hubungannya dengan kejadian luar bias dikamar bayi. Di samping
produksi enterotoksin, E.coli dapat menimbulkan diare dengan perlekatan
(adhesi) pada mukosa usus kecil (Enteroadheren
E.coli) atau Enterohaemorrhagic
E.coli 0157H7).
Uji
spesifik yang senstif ( termasuk pelacak DNA) telah dikembangkan untuk jalur
yang memproduksi toksin ini di samping untuk enteropatogen lain, tetapi banyak
laboratorium yang belum dapat melakukannya. Salmonelosis lebih sering terjadi
pada anak yang lebih besar dengan puncak insidens 6 bulan-2 tahun , tetapi
dapat pula terjadi kejadian luar biasa diruang abyi. Infeksi silang tercatat
terjadi pada lebih kurang 40% dari kejadin luar biasa nosokomial salmonelosis
atau lenih kurang 25% dari kasus nosokomial dengan sumber umum. Telah
dilaporkan kejadian luar biasa dari beberapa macam bahan makanan, poduk medik
dan farmasi. Pasien dengan operasi lambung, hemoglobinopati, mendapat
pengobatan antibiotik, imunosupresif tampaknya lebih sensitif terhadap infeksi
salmonela. Nosokomial shigelosis relatif jarang, karena manusia merupakan
satu-satunya reservior penting untuk infeksi (tidak ada status karier lama
seperti pada salmonela) dan dalam prakteknya rumah sakit pada umumnya dapat
mencegah penyebaran oro-fecal infection.
Yersinia enterocolitica telah dilaporkan menyebabkan infeksi
pada petugas rumah sakit sesudah terpapar dengan anak yang infeksius.
Enterokolitis karena Cdifficile lebih sering terjadi pada pasien dengan flora
usus normal telah berubah karena pemberian antibiotik. Kejadian luar biasa
gastroenteritis akut non-bakteri dapat terjadi dirumah sakit anak, baik
diperawatan umum maupun dikamar perawatan bayi. Banyak kejadian luar biasa ini
disebabkan oleh reovirus (rotavirus atau duovirus). Nayatnya dibebearapa daerah
virus ini sebagai penyebab tunggal gastroenteritis di antara anak dan bayi yang
dirawat. Kejadian luar biasa giardiasis dan kriptosporidiosis meningkat di
antara pasien balita yang mendapat mainan dalam fasilitas kamar bayi.
Infeksi
nosokomial saluran cerna yang berhubungan dengan infeksi silang di ruang
perawatan anak.
Diare Basiller
Gastroenteritis
non-bakteri
Lain-lain
|
E.coli
Salmonela
Shigela (jarang)
Yersinia enterocolica
(sangat jarang)
Reovirus-like agent
Entamoeba histolytica
Hepatitis A
Hepatitis B
Enterovirus
Adenovirus
|
3.
Infeksi Nosokomial di Ruang Perawatan
Bayi
Angka infeksi
nosokomial tertinggi di rumah sakit anak ialah infeksi di kamar bayi. Infeksi
ini berhubungan dengan pemakaian alat-alat invasif seperti vena sentral.
Dibandingkan dengan tipe lain, ruang perawatan intensif dan kamar perawatan
bayi mempunyai risiko tinggi terhadap bakteremia, sedangkan angka infeksi
pneumonia dan saluran kemih lebih rendah.
a. Infeksi
Stafilokokus
Sebelum
pemakaian penisilin secara luas, Stretococcus
beta hemolitycus grup A banyak menimbulkan kejadian luar biasa infeksi
dikamar bayi. Pada tahun 1950 dan 1960-an stafilokokus menggantikan
streptokokus sebagai patogen utama dikamar bayi dan akhir-akhir ini basil
enterik Gram-negatif dan Streptococcus
grup B lebih sering terjadi. Bayi dapat menjadi karier infeksi S.aureus segera sesudah lahir. Sesudah
dirawat dikamar bayi, bayi lebih sering mengalami kolonisasi oleh jalur S.aureus yang dibawa dari kamar bayi dan
petugaskamar bayi daripada jalur yang dibawa oleh ibu.
Selama
kejadian luar biasa infeksi stafilokokus dapat ditemukan pada kulit, hidung,
dan umbilikus bayi; status karier dapat bervariasi antara 30-80% sesudah
dirawat beberapa hari di kamar bayi. Ada atau tidaknya diseminator stafilokokus
di antara petugas kamar bayi, mencuci tangan ketat di antara kontak dengan
bayi, tipe perawatan kulit bayi, karakteristik galur stafilokokus, jumlah dan
kualitas petugas yang adekuat, serta lama perawatan di kamar bayi mempengaruhi
besarnya risiko karier. Upaya untuk mengontrol infeksi S.aureus di kamar bayi termasuk penekanan pentingnya mencuci tangan
para petugas perawatan dan perawatan topikal umbilikus dengan germicides, mupirosin tampaknya mempunyai
keuntungan terhadap galur S.aureus
yang resisten terhadap metasilin.
Infeksi
stafilokokus pada neonatus biasanya timbul sebagai ruam kulit, omfalitis,
paronikia, atau konjungtivitis purulenta. Pustula atau lesi impetigo merupakan
manifestasi terbanyak pada bayi. Impetigo
bullosa dapat terjadi pada kejadian luar biasa dikamar bayi.Piodermadapat
progresif menjadi selulitis luas atau abses subkutan. Dapat juga terjadi
mastitis maternal atau pada bayi.
Pneumonia
merupakan manifestasi serius infeksi stafilokokus pada neonatus. Keadaan ini
dapat didahului dengan pioderma. Pada anak yang lebih besar pneumonia karena
stafilokokus pada neonatus dapat menimbulkan penyulit dengan pembentukan
pneumotoraks, empiema, atau sepsis. Sepsis karena stafilokokus dapat berasal
dari kulit, saluran nafas, saluran cerna, atau kateter indwelling. Lokalisasi infeksi dapat berasal dari setiap tempat
bagian tubuh, dapat menyebabkan akses, endokarditis, perikarditis, meningitis,
osteomielitis, atau artritis septik. Dengan memperpendek perawatan dikamar
bayi, banyak infeksi yang dapat dideteksi hanya dengan surveilans perawatan
yang efektif. Stafilokokus koagulase negatif ( S.epidermidis) merupakan penyebab utama bakteremia nosokomial di
NICU. Hal ini disebabkan karena kateter intravena (terutama vena sentral)
disamping berat badan lahir rendah dan lama perawatan merupakan faktor risiko.
Pemberian emulsi lipid intravena merupakan faktor risiko yang kuat. Pembentukan
biofilm atau lendir oleh S.epidermidis
tampaknya meransang kolonisasi dalam kateter yang melindungi stafilokokus dari
pembersihan oleh mekanisme tubuh.
b. Infeksi
Basil Gram-Negatif
Saluran
cerna, saluran nafas, dan saluran kemih merupakan tempat masuknya basil basil
gram-negatif. Sepsis, sindroma distress pernafasan pada neonates, meningitis,
dan ventrikulitis merupakan manifestasi klinis yang sering dijumpai. Bayi
premature dan neonates yang memerlukan monitor atau bantuan nafas yang invasif
umumnya merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi basil gram-negatif.
Infeksi ini sering terjadi dengan gejala nonspesifik seperti apnea,
bradikardia, kemampuan minum jelek, letargi, dan temperature yang tidak
menentu.
E.coli
dan spesies klebsiela merupakan koloni usus yang dominan, walaupun organisme
nosocomial lain dapat menimbulkan infeksi bayi yang baru lahir termasuk spesies
enterobakter, seratia, asinetobakter, pseudomonas, dan flavobakterium.
Pseudomonas sepasia dan organisme lain dapat berkembang dalam keadaan lembab,
lingkungan nutrisi yang kurang, dan sering menimbulkan kejadian luar biasa di
kamar bayi.
c. Infeksi
streptokokus grup B
Streptokokus
beta hemolitikus dari Lancefield grup B timbul sebagai pathogen yang penting
pada wanita yang melahirkan dan mengkontaminasi neonates. Sejak tahun 1961
streptokokus grup B dicatat sebagai penyebab infeksi pernatal yang serius, baik
pada bayi maupun pada ibu. Kemudian banyak laporan sepsis neonatorum,
meningitis neonatal, dan infeksi pasca partum yang disebabkan oleh grup
streptokokus. Insidens infeksi streptokokus bervariasi di lokasi yang berbeda,
streptokokus grup B sekarang menyaingi E.coli dan basil enteric Gram-negatif
lain sebagai pathogen pada masa neonatal. Pada beberapa rumah sakit,
streptokokus grup B merupakan penyebab utama meningitis pada neonates, dan
dilaporkan bertambahnya pneumonia dan sepsis pada neonates yang disebabkan oleh
bakteri ini.
Kolonisasi
saluran genital ibu yang melahirkan dan diikuti transfer infeksi intrapartum
merupakan sumber yang biasa terjadi pada infeksi perinatal. Perbedaan dalam
teknik pengumpulan specimen dan isolasi bakteri merupakan varian luas
kolonisasi saluran genitalia yang disebabkan streptokokus grup B pada ibu
hamil. Carriage rate bervariasi dari 4,6-29% pada ibu hamil, 1,2-37% pada
neonates, dan 14,6-43% pada petugas
kamar bayi.
Didapatkan
dua keadaan yang berbeda pada neonates yang terinfeksi. Pertama penyakit yang
timbul cepat (early onset) mulai 48 jam pertama kehidupan yang ditandai dengan
terkenanya banyak sistem organ, disertai pneumonia dan distress pernafasan.
Dapat di isolasi 5 serotipe streptokokus grup B (Ia, Ib, Ic, II/III). Kedua,
penyakit yang timbul lambat (late onset) berupa meningitis, mempunyai mortalitas
yang lebih rendah, dan hamper seluruhnya disebabkan oleh organisme tipe III.
Terdapat sedikit kesangsian apakah transmisi organisme grup B intrapartum
menyebabkan early onset karena serotype yang sama biasanya dapat ditemmukan
dari bayi yang terinfeksi dari saluran genital ibu. Epidemiologi penyakit yang
late onset tidaklah jelas.
Terapi
pencegahan ibu karir belum terbukti dapat mengeradikasi streptokokus dari
saluran genital ibu, walaupun demikian terapi koloni ibu yang melahirkan dan
bayi baru lahir dengan ampisilin atau penisilin menurunkan kemungkinan
kolonisasi neonatal dan infeksi.terapi pencegahan dengan cara menginduksi
imuunitas melalui imunisasi aktif atau pasif ibu, neonatus atau keduanya.
d. Infeksi
virus
Diantara
virus yang telah diperlihatkan menyebar di unit neonatal ialah RSV,
reovirus-like agents, virus para influenza tipe III, ortomiksovirus,
enterovirus, virus rubella, virus herpes, dan sitomegalovirus. Pasien di unit
bayi merupakan resiko mendapat RSV jika virus tersebut mempunyai prevalensi
tinggi di masyarakat.
Penyebaran
RSV ke pasien lain terjadi lebih sering melalui kontak daripada melalui udara,
dan petugas ruangan yang terinfeksi berperan dalam penyebaran virus kepada
pasien lain. Mordiditas RSV diantara bayi yang dirawat agak besar, dan lebih
kurang 1/3 yang terinfeksi timbul infeksi saluran nafas bagian bawah. Dapat
pula bermanifestasi sebagai gejala spesifik seperti apnea. Risiko mortalitas
terutama besar pada bayi dengan PJB. Diperkirakan lebih kurang 1% bayi yang
lahir di Amerika mengeluarkan sitomegalovirus dalam urinnya. Walaupun bayi
seperti itu mungkin merupakan sumber penyebaran virus kepada petugas rumah
sakit dan kepada bayi yang lain, besar risiko ini tampaknya kecil. Ibu hamil
atau wanita yang merencanakan hamil dapat dicegah mendapat sitomegalovirus
dengan memperhatikan hygiene selama kehamilan, terutama pada setiap keadaan
mereka kontak erat dengan baik atau anak.
Bayi
dengan sindroma rubella kongenital tetap infeksius untuk waktu yang lama,
mengeluarkan virus dari faring, urin ata feces. Pasien itu dikatakan mempunyai
risiko tinggi untuk ibu hamil yang rentan atau yang diusahakan menjadi hamil.
Infeksi herpes simplex dapat menimbulkan penyakit yang mematikan pada neonates,
walaupun beberapa bayi baru lahir mempunyai manifestasi lesi kulit vesicular
yang tak bermakna, infeksi sistemik lain yang fulminant berupa ensefalitis,
hepatitis dan pneumonia. Infeksi herpes virus didapat melalui transmisi
tranplasental atau melalui transmisi intrapartum dengan kontak pada membrane mukosa
ibu yang infeksius.
Penyebaran
kontak dari bayi yang infeksius melalui tangan petugas dan kemudian menular
kepada bayi lain diruang anak. Meningginya infeksi wanita umur reproduktif
dengan HIV telah terjadi dengan bertambahnya jumlah bayi yang terinfeksi HIV.
Lebih kurang 10-30% bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi mendapat virus
ini. Pada semua kasus, darah, cairan tubuh tertentu berpotensi infeksius. Hal
ini penting di NICU oleh karena begitu banyaknya kesempatan bagi petugas rumah
sakit untuk kontak dengan bahan yang potensial infeksius. (Sumarno
S. Poorwo, Infeksi dan Pediatri Tropis
G.
Sumber-Sumber
Infeksi Nosokomial
Sumber infeksi nosocomial dapat
dibedakan 2 melalui tindakan yaitu:
1. Tindakan
Invasif atau tindakan operatif
a. Petugas
kesehatan (medis/keperawatan) :
1) Tidak
memahami teknik yang baik untuk mencegah penularan/penyebaran kuman pathogen
2) Tidak
menyadari tindakan yg dilakukan berpotensi untuk mengkontaminasi kuman
3) Tidak
memperhatikan personal hygiene
4) Menderita/menularkan
penyakitnya pada klien
5) Tidak
melaksanakan teknik aseptik dengan baik
6) Tidak
mengusai PROTAP tindakan dengan baik
7) Bekerja
ceroboh/kurang hati-hati
8) Tidak
mencuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan klien
9) Melakukan
cuci tangan dengan teknik yang tidak benar
b. Alat-alat
kesehatan/equipment :
1) Alat
-alat yg digunakan dalam keadaan kotor, tidak steril atau korosif
2) Cara
penyimpanan tidak baik
3) Digunakan
berulang kali tanpa didisinfeksi lagi
4) Kadaluarsa
c. Kondisi
Pasien :
1) Hygiene
personal buruk
2) Status
gizi buruk /malnutrisi
3) Menderita
penyakit kronis; penyakit infeksi; penyakit menular
4) Mengkonsumsi
obat-obatan Imunosupresif (menekan sistem imun tabufe) Lingkungan
5) Ventilasi
yang tidak adekuat
6) Penerangan
/sinar matahari yang kurang
7) Ruangan
yang lembab dan kotor
8) Ada
air tergenang
9) Banyak
serangga
2. Tindakan
Non Invasif
Tindakan
non invasif merupakan tindakan medis/keperawatan tanpa memasukkan alat
kesehatan kedalam tubuh klien. Contohnya: tindakan pemeriksaan EKG, USG,
Tredmill, pengukuran tekanan darah, nadi, suhu tubuh, refleks tonus dll.
a. Pasien
dengan pasien lain
Pasien
yang menderita penyakit menular dapat menularkan penyaktinya pada pasien lain
b. Pasien
dengan petngas kesehatan
Petugas
kesehatan yang menderita penyakit menular/infeksi dapat menularkan penyakitnya pada
pasien yang sedang dirawat.
c. Pasien
dengan pengunjung
Pengunjung
yang menderita penyakit infeksi dapat menularkan penyakitnya pada pasien yang
sedang dirawat di rumah sakit
d. Pasien
dengan alat-alat kesehatan
Alat-lat
kesehatan yang digunakan untuk merawat pasien dapat mengakibatkan infeksi jika kondisi
alat tidak steril /terkontaminasi kuman
e. Pasien
dengan lingkungan
Lingkungan
yang kurang baik (lembab, debu dan kurang sirkulasi) dapat mengakibatkan pasien
mengalami kondisi yang lebih buruk dan meningkatkan pertumbuhan kuman
f. Pasien
dengan air
Air
yang tercemar kuman patogen dapat mengakibatkan penyakit pada pasien
g. Pasien
dengan makanan
Makanan
yang tercemar kuman patogen/makanan yang tidak segar dapat menyebabkan penyakit
pada pasien.
H.
Prosedur
Pelaksanaan Pencegahan Infeksi Nosokomial
a. Cuci Tangan
Teknik
mencuci tangan yang baik merupakan satu-satunya cara yang paling penting untuk
mengurangi penyebaran infeksi.Dengan cara menggosok tangan dengan sabun atau
deterjen dan air kuat kuat selama 15 detik dan dibilas baik baik sebelum dan
sesudah memeriksa penderita,sudah cukup .Namun bila selama merawat
penderita,tangan terkena darah,sekresi luka,bahan bernanah,atau bahan yang lain
yang di curigai maka harus di cuci selama 2 sampai 3 menit dengan menggunakan bahan
cuci antiseptic.
b. Asepsis
Asepsis
adalah penghindaran atau pencegahan penularan dengan cara meniadakan
mikroorganisme yang secara potensial berbahaya. Tujuan asepsis ialah mencegah
atau membatasi infeksi.di rumah sakit digunakan 2 konsep asepsis yaitu asepsis
medis dan bedah.Asepsis Medis meliputi segala praktek yang di gunakan untuk
menjaga agar para petugas medis,penderita dan lingkungan terhindar dari
penyebab infeksi,seperti cuci tangan,sanitasi dn kebersihan lingkungan rumah
sakit itu hanyalah beberapa contok asepsis medis.Asepsis Bedah meliputi cara
kerja yang mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam luka dan jaringan
penderita.Maka dari itu dalam asepsis bedah semua alat kesehatan harus
berprinsip steril,lingkungan harus bersanitasi,dan juga flora mikroba di udara
harus di saring lewat filter berefisiensi tinggi.
c. Disinfeksi dan Sterilisasi di Rumah
Sakit
Banyak
rumah sakit mempunyai pusat penyediaan yaitu tempat kebanyakan peralatan dan
suplai dibersihkan serta di sterilkan.Hasil proses ini di monitor oleh
laboratorium.mikrobiologi secara teratur.Kecenderungan rumah sakit untuk
menggunakan alat alat serta bahan yang di jual dalam keadaan steril dan
sekali pakai.karena dapat mempersingkat waktu tanpa harus mensterilkan
alat,tetapi juga dapat mengurangi pemindah sebaran patogen melalui infeksi
silang.
d. Sanitasi Lingkungan Rumah Sakit
Tujuan
sanitasi lingkungan adalah membunuh atau menyingkirkan pencemaran atau mikroba
dari permukaan.Untuk mengevaluasi prosedur dan cara-cara untuk mengurangi
pencemaran,dilakukan pengambilan contoh mikroorganisme sewaktu-waktu dari
permukaan lantai.
e. Pengawasan Infeksi
Ialah
pengamatan dan pengawasan serta pencatatan secara sistematik terjadinya
penyakit menular,ini merupakan dasar bagi usaha pengendalian aktif. Identisifikasi
dan evaluasi masalah-masalah infeksi nosokomial dan pengembangan serta
penilaian pengendalian efektif hanya dapat dicapai denagn adanya pengawasan
teratur terhadap infeksi-infeksi semacam itu pada penderita.
f. Pengawasan Penderita atau Pasien
Pengawasan
infeksi penderita di mulai ketika masuk rumah sakit dengan menyertakan kartu
data infeksi di dalam catatan medis penderita.Data yang di kumpulkan setiap
hari mengenai biakan dari laboratorium mikrobiologi serta dari hasil inspeksi
laboratoris dan klinis di catat pada setiap kartu data infeksi setiap
penderita.
g. Pengawasan Pekerja Rumah Sakit
Pemeriksaan
fisik harus merupakan persyaratan bagi semua petugas rumah sakit,dan
catatan imunisasi harus diperiksa.Bila tidak tercatat,maka imunisasi terhadap penyakit
polio,tetanus,difteri,dan campak harus di isyaratkan.Petugas yang menunjukkan
hasil positif pada uji tuberculin harus diperiksa dengan sinar x di bagian dada
untuk menentukan kemungkinan adanya tuberculosis aktif.
h. Pengawasan Lingkungan Rumah Sakit
Bila
perawat pengendalian infeksi menemukan satu atau lebih kasus infeksi baru,maka
mungkin diperlukan banyak biakan dari penderita,petugas dan lingkungan untuk
menemukan sumber patogen dan lalu meniadakanya.