Jumat, 08 Januari 2016

Infeksi Nosokomial

INFEKSI NOSOKOMIAL

A.    Pengertian

Infeksi adalah proses dimana seseorang rentan (susceptible) terkena invasi agen patogen atau infeksius yang tumbuh, berkembang biak dan menyebabkan sakit. Yang dimaksud agen bisa berupa bakteri, virus, ricketsia, jamur, dan parasit. Penyakit menular atau infeksius adalah penyakit tertentu yang dapat berpindah dari satu orang ke orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung.
Istilah infeksi nosokomial berasal dari kata Greek nosos (penyakit) dan komeion (merawat). Nosocomion (atau menurut Latin, nosocomium) merupakan arti rumah sakit. Secara umum definisi infeksi nosocomial yang telah disepakati yaitu setiap infeksi yang di dapat selama perawatan di rumah sakit, tetapi bukan timbul ataupun pada stadium Inkubasi pada saat masuk dirawat di rumah sakit, atau merupakan infeksi yang berhubungan dengan perawatan di rumah sakit sebelumnya.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention, 1988, suatu infeksi dikatakan di dapat di rumah sakit apabila,
a.       Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinis dari infeksi tersebut
b.      Tanda-tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya setelah 2x24 sejak mulai perawatan
c.       Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya
d.      Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993, infeksi dikatakan infeksi didapatkan di rumah sakit apabila,
a.       Pada saat masuk rumah sakit tidak ada tanda/ gejala atau tidak dalam masa inkubasi infeksi tersebut
b.      Infeksi terjadi 3x24 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit atau,
c.       Infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme yang berbeda dari mikroorganisme pada saat masuk rumah sakit atau mikroorganisme penyebab sama tetapi lokasi infeksi berbeda. (Sumarno S. Poorwo, Infeksi dan Pediatri Tropis, 2012)

B.     Epidemiologi

Tujuan mengetahui epidemiologi infeksi rumah sakit ialah untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi nosokomial dan mengontrol infeksi. Kontrol terhadap infeksi menjadi efektif apabila berdasarkan atas pengetahuan mengenai permasalahan yang jelas (insidensi dan prevalensi infeksi nosokomial), orang-orang yang mempunyai risiko tinggi terkena infeksi, sumber yang potensial untuk terjadi infeksi, dengan cara penularannya.
Frekuensi infeksi nosokomial umumnya dinyatakan sebagai prevalensi (rasio antara jumlah infeksi terhadap jumlah orang yang mempunyai risiko pada suatu titik waktu), atau insidensi (rasio antara jumlah infeksi baru terhadap jumlah orang yang mempunyai risiko selama periode waktu tertentu). Prevalensi dinyatakan sebagai jumlah infeksi per 100 kasus yang dirawat pada suatu waktu tertentu, sedangkan insidensi dinyatakan sebagai jumlah infeksi per 100 kasus yang dirawat atau dipulangkan sesudah suatu periode waktu. Keseluruhan angka infeksi dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu umur, jumlah pasien, frekuensi pemakaian alat-alat medik, dan efektivitas program surveilans.
Infeksi rumah sakit sering terjadi pada pasien berisiko tinggi yaitu pasien dengan karakteristik usia tua, berbaring lama, penggunaan obat imunosupresan dan teroid, daya tahan turun pada luka bakar, pada pasien yang dilakukan prosedur diagnostik invasif, infus lama atau pemasangan keteter urin yang lama dan infeksi nosokomial pada luka operasi. Sebagai sumber penularan dan cara penularan terutama melalui tangan, melalui jarum suntik, kateter intravena, kateter urin, kain kasa/ verban, cara keliru dalam menangani luka, peralatan operasi yang terkontaminasi, dll.
d.      Di Amerika Serikat 2-6% pasien yang dirawat terkena infeksi nosocomial (Tabel 1). Angka infeksi bervariasi tergantung dari efisiensi system surveilans dan tipe rumah sakit. Data nasional dikumpulkan oleh National Nosocomial Infectious Surveillance System (NNIS), mencakup kurang lebih 120 rumah sakit dari setiap tipe. (Sumarno S. Poorwo, Infeksi dan Pediatri Tropis, 2012)

Tabel 1. Angka infeksi nosokomial menurut pelayanan 1986-1990
Pelayanan
Infeksi per 100 pasien yang dipulangkan
Infeksi per 1000 patient-day
Penyakit dalam
3,5
5,7
Onkologi
5,1
8,1
Unit luka bakar
14,9
11,9
Operasi jantung
9,8
9,8
Ortopedi
3,9
5,8
Mata
0,0
0,0
Kebidanan
0,9
5,0
Anak (umum)
·         Kamar bersalin risiko tinggi
·         Kamar bersalin bayi sehat
0,4
14,0

0,4
0,9
9,9

1,1




C.    Patofisiologi

a.      Interaksi Pejamu dan Patogen
Kebanyakan infeksi nosokomial adalah infeksi oportunistik ialah infeksi yang disebabkan oleh organisme yang mempunyai patogenisitas rendah

b.      Faktor Pejamu
Makin bertambah faktor risiko, makin besar pula kemungkinan timbulnya infeksi nosokomial, dan sering terdapat risiko multipel. Misalnya seorang anak dengan leukemia limfoblastik akut mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya infeksi traktus urinarius sebagai akibat pemasangan kateter urin dibandingkan dengan anak sehat lain dengan kateter urin yang dipasang selama waktu yang sama.
Di ruang perawatan anak, umur merupakan faktor risiko yang penting. Neonates, dengan system imun yang imatur umumnya merupakan pejamu yang sensitif, dan kejadian infeksi nosokomial biasanya tertinggi pada bayi baru lahir yang dirawat di ruang perawatan intensif bayi baru lahir (NICU). Berat badan lahir rendah dan prematuritas merupakan faktor tambahan yang meningkatkan risiko terjadinya infeksi nosokomial. Bayi risiko tinggi seperti ini memerlukan perawatan di ruang perawatan intensif bayi baru lahir. Mereka banyak memerlukan alat penunjang kehidupan seperti selang endotrakeal, ventilator, kateter intravena dan intraarterial, jarum elektroda kulit, semua peralatan tersebut dapat merupakan sumber terjadinya infeksi nosokomial. Faktor-faktor tersebut secara bersama-sama menimbulkan angka infeksi nosokomial yang tinggi di ruang perawatan intensif bayi. (Sumarno S. Poorwo, Infeksi dan Pediatri Tropis, 2012)

D.    Mikroorganisme Patogen yang Terlibat

Infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh setiap mikroorganisme patogen (bakteri, virus, fungi dan protozoa). Sering disebabkan oleh bakteri yang berasal dari flora endogen pasien sendiri. Faktor-faktor seperti pengobatan dengan antibiotik, uji diagnostik dan pengobatan yang invasif, penyakit dasar, bersama-sama mengubah flora endogen pasien selama dirawat. Dari data yang banyak dilaporkan, stafilokokus, strepkokus dan basili Gram negatif berperan dalam infeksi nosokomial. Di kamar bersalin risiko tinggi, stafilokokus dengan koagulase negatif merupakan bakteri patogen utama, terutama pada bacteremia. Streptokokus grup B, enterokokus dan S. aureus juga merupakan patogen yang penting. Di antara basili Gram-negatif, E. coli, spesies enterobakter dan Klebsiela pneumoniae merupakan patogen nosokomial yang paling sering.
            Resistensi terhadap antimikroba sering terjadi di antara bakteri yang menimbulkan infeksi nosokomial. Galur S. aureus yang resisten terhadap semua antibiotik beta-laktam (aminoglikosida dan macrolide) dikenal sebagai methicillin-resistant S. aureus (MRSA). Kebanyakan isolat S.aureus koagulase negatif resisten terhadap antibiotik beta-laktam. Vankomisin menjadi obat terpilih untuk infeksi stafilokokus di rumah sakit yang resisten terhadap beta-laktam. Virus juga dapat menyebabkan infeksi nosokomial, yaitu pneumonia dan infeksi saluran nafas bagian atas pada bayi dan anak kecil disebabkan respiratory syncytial virus (RSV). Virus penyebab lain pneumonia nosokomial adalah influenza, herpes simpleks, varisela, adenovirus dan sitomegalovirus. Virus herpes merupakan penyebab utama infeksi nosokomial pada kulit, sedangkan rotavirus merupakan penyebab utama nosokomial gastroenteritis, juga parvovirus di bangsal anak. Pada kasus imunokompromais, fungi (terutama candida, aspergillus dan mukor) dan virus (terutama sitomegalovirus dan virus herpes) merupakan patogen nosokomial yang penting.
            Pasien rawat inap sering mendapat flora endogen sekunder di rumah sakit. Tersering flora ini berasal dari pasien lain melalui petugas rumah sakit. Makanan, air minum, dan sumber bakteri dari lingkungan memegang peran yang lebih kecil dalam penyebaran patogen nosokomial. Kebanyakan infeksi nosokomial adalah autochthonus (berasal dari flora endogen pasien), tetapi infeksi silang antara pasien yang dirawat juga dapat terjadi. Infeksi silang dapat terjadi melalui penularan langsung (kontak atau udara) atau tidak langsung (orang ke benda ke orang, atau benda ke orang).
Kontak tidak langsung menyebar melalui tangan petugas rumah sakit yang merupakan penularan patogen rumah sakit yang paling sering. Bakteri ini biasanya menetap sementara di tangan petugas, tetapi bukan karier. Penularan tersebut dapat dicegah dengan cuci tangan yang adekuat. Banyak contoh kejadian luar biasa nosokomial yang terjadi karena kontak tidak langsung atau langsung melalui penyebaran orang ke orang, misalnya hepatitis B, sepsis terjadi melalui larutan intravena yang tercemar, salmonelosis karena kontaminasi selang sonde, dan penularan melalui udara akibat tuberculosis dan morbili, tetapi yang jauh lebih penting adalah penyebaran mikroorganisme secara langsung. (Sumarno S. Poorwo, Infeksi dan Pediatri Tropis, 2012)

E.     Faktor - Faktor Yang Menyebabkan Infeksi Nosokomial

Menurut Darmadi (2008) dan Trilla (2005) terdapat faktor-faktor lain yang juga berperan memberi peluang timbulnya infeksi nosokomial, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor yang ada pada diri penderita (faktor intrinsik) seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain yang menyertai penyakit dasar (multipatologi) beserta komplikasinya. Faktor-faktor ini merupakan presdiposisi.
2. Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan, menurunnya standard pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan.
3. Faktor mikroba patogen seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya pemaparan antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita.


F.     Infeksi Nosokomial yang Sering Terjadi

Infeksi nosocomial yang sering terjadi dapat dibagi menjadi infeksi nosocomial di semua tipe runagan rumah sakit, di ruang anak, dan di ruang bayi.

1.      Infeksi Nosokomial di Ruangan Rumah Sakit
Infeksi nosokomial di ruang rumah sakit pada umumnya dapat terbagi dalam infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, infeksi luka operasi, infeksi kateter intravena (infeksi luka infus), dan lain-lain.

a.      Infeksi saluran kemih
Dari laporan penelitian, tercatat infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi nosokomial yang paling sering terjadi, lebih kurang 40% dari seluruh infeksi nosokomial, walaupun demikian biaya dan lama perawatan ISK di rumah sakit lebih kecil daripada pneumonia dan bacteremia terutama di ruangan anak.
Infeksi nosokomial saluran kemih dapat terjadi sebagai akibat berbagai tindakan manipulasi saluran kemih, seperti dilatasi uretra, sikanistoskopi, nefrostomi, pielografi retrogad atau paling sering setelah pemasangan kateter urin. Bila mungkin pemasangan kateter indwelling haruslah dicegah, dan hanya dikerjakan bila benar-benar diperlukan, kateter urin harus segera dilepaskan bila tidak diperlukan lagi. Untuk pasien yang memerlukan drainase kandung kemih untuk waktu yang lama, lebih disukai drainase kateter kontinyu untuk mencegah komplikasi sepsis. Risiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih sesudah keteterisasi tunggal ke kandung kemih lebih kurang 1-2%. Penelitian memperlihatkan bahwa pemasangan kateter indwelling terbuka meninggikan risiko infeksi, mencapi 100% dalam waktu 4-5 hari. Dengan memakai sistem drainase tertutup yang steril, risiko untuk terjadinya bakteriura menurun secara bermakna untuk minggu pertama atau ke-2. Ulserasi mukosa ureter dan kandung kemih karena tekanan dan pergerakan keteter maju mundur menimbukan kolonisasi traktus urinarius. Bakteri dapat menjalar arah uretra sekitar kateter, mungkin sampai ke kandung kemih melaui aliran limfe periuretara, atau lumen kateter.
Infeksi silang dari satu pasien ke pasien lainnya dapat terjadi melalui tangan para petugas rumah sakit yang terlibat dalam pemasangan kateter dan manipulasi. Kuman yang menimbulkan infeksi saluran kemih bervariasi luas tergantung riwayat infeksi pemakaian alat atau pengobatan. Oleh karena infeksi silang sering terjadi pada pasien  yang mendapat kateterisasi, maka galur rumah sakit yang prevalen dapat berperan. Enterobakteria, enterokoki, pseudomonas, dan jamur berperan untuk sebagian besar infeksi nosokomial saluran kemih. Salep antibotik, kateter yang sudah diresapi antibotik, dan pemberian antibiotik pada meatal cateheter junction tidak membuktikan dapat mencegah infeksi. Pemberian antibotik profilaksis secara sistemik umumnya tidak berhasil mencegah infeksi saluran kemih untuk lebih dari beberapa hari dan dapat meninggikan timbulnya resistensi terhadap mikroorganisme. Maka pada pasien yang memakai kateter janka panjang, pemberian antibiotic sistemik hanya di berikan pada pengobatan infeksi saluran kemih yang sistomatik.
Komplikasi utama infeksi traktus urinarius ialah sepsis. Saluran kemih merupakan tempat utama masuknya bakteria Gram-negatif ke dalam darah. Sepsis akibat infeksi saluran kemih pada orang dewasa menyebabkan mortalitas yang tinggi, umumnya bervariasi antara 20-50%. Penyulit potensial lain dari kolonisasi saluran kemih ialah terjadinya infeksi saluran kemih simtomatik akut atau kronik, dan terjadinya supuratif seperti abses periuretra atau perinefrik.
b.      Infeksi luka operasi
Akhir abad ini infeksi pasca operasi telah menurun secara bermakna; nama, infeksi pasca operasi tetap sebagai morbiditas dan mortalitas yang bermakna dan menduduki peringkat ke-2 infeksi nosokomial di rumah sakit. Sekitar 75% kasus infeksi luka nosocomial tidak terdeteksi sampai dipulangkan dari rumah sakit. Faktor terpenting yang mempengaruhi infeksi luka operasi nosocomial ialah kesehatan pasien secara umum dan apakah prosedur operasi tersebut termasuk kategori operasi bersih (membrane mukosa tidak dilakukan transeksi dan tidak dijumpai peradangan) atau operasi kotor (misalnya perforasi dari viskus atau adanya pus dalam luka). Perpanjangan operasi di luar waktu biasa yang diperlukan untuk prosedur tertentu juga mempunyai risiko infeksi. Tabel berikut memperlihatkan faktor risiko umum dan local yang diketahui merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi pasca operasi.

Faktor Risiko Infeksi Luka Operasi
Faktor umum
  • Umur, sangat muda atau sangat tua
  • Status nutrisi
  • Diabetes mellitus
  • Pengobatan kortikosteroid
  • Jarak fokus infeksi
  • Faktor local
Faktor lokal
  • Luka yang terkontaminasi, secara eksogen terjadi sesudah trauma atau endogen tanpa trauma
  • Retensi benda asing: bahan untuk menjahit, fragmen tulang
  • Iskemia lokal: edema lokal, ikatan ketat
  • Hematoma

Risiko infeksi luka sesudah operasi yang selektif dan bersih relatif rendah, sedangkan faktor risiko yang paling bermakna ialah lamanya prosedur operasi. Kebanyakan infeksi luka operasi terjadi 3-7 hari pasca operasi. Infeksi pasca operasi yang terjadi dini (terjadi dalam waktu 24-48 jam sesudah operasi) seringkali disebabkan oleh Streptococcus grup A atau spesies klostridium. Infeksi luka operasi karena stafilokokus biasanya terjadi sekitar 4-6 hari sesudah operasi dan yang disebabkan oleh basili Gram-negatif mungkin tidak terjadi dalam satu minggu atau lebih. Supurasi luka diambil sebagai bukti infeksi luka. Stafilokokus, enterobakteria, pseudomonas, dan bakteri anaerob turut berperan.
Kebanyakan infeksi pasca operasi disebabkan oleh flora pasien sendiri. Secara umum bakteri masuk ke dalam luka selama operasi. Peran mikroorganisme dalam udara pada infeksi luka operasi masih dipertentangkan, tetapi kebanyakan peneliti mempercayai hanya sedikit berperan. Antibiotik perioperatif dibuktikan mengurangi insidens infeksi luka operasi dalam keadaan yang bervariasi. Walaupun hasilnya paling dramatis pada operasi kotor, keuntungan telah dibuktikan juga pada prosedur operasi bersih yang umumnya berisiko rendah (seperti operasi hernia). Prinsipnya pemakaian jangka pendek antibiotik profilaksis (24 jam atau kurang) dimulai sebelum operasi, dan mengatur agar kadar antibiotik darah efektif selama prosedur operasi dilakukan.
c.       Infeksi Saluran Nafas
Infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri terjadi pada 0,5-5,0% pasien yang dirawat. Pada sebagian besar penelitian infeksi nosocomial, infeksi saluran nafas dapat menempati urutan ke-3 dari insidens seluruh infeksi nosocomial. Infeksi saluran nafas sering berat, mortalitas infeksi nosocomial saluran nafas melebihi mortalitas infeksi dari organ lain. Faktor yang berperan terhadap infeksi nosocomial saluran nafas termasuk umur (sangat muda atau sangat tua), hygiene gigi yang buruk, beratnya underlying disease, lama perawatan, anestesia umum, intubasi endotrakea, trakeostomi, pengobatan inhalasi, bendungan jantung, pengobatan antibiotik dan kolonisasi saluran nafas oleh basil Gram-negatif.
Flora mikroba dari mulut dan faring dari pasien sakit berat atau dirawat lama, mengandung sejumlah basili Gram-negatif yang bertambah. Mikroorganisme ini didapat dari lingkungan rumah sakit umum, yaitu makanan, air, alat-alat, air cucian, dan tangan para petugas rumah sakit. Saluran cerna merupakan reservoir penting untuk patogen nosocomial. Perhatian telah difokuskan pada meningkatnya flora bakteri. Pergeseran dalam flora oleh Gram-negatif batang dan jamur dapat terjadi karena pengobatan antibiotic. Aspirasi partikel infeksius atau pengobatan inhalasi dapat menyebabkan partikel infeksius itu masuk ke dalam paru. Kombinasi dari setiap faktor predisposisi ini dapat menimbulkan infeksi saluran nafas bagian bawah.
Kebanyakan infeksi saluran nafas disebabkan oleh basil Gram-negatif usus (klebsiela, enterobakter, seratia, E.coli, dan proteus) dan pseudomonas. Basil Gram-negatif lain yang berhubungan dengan air, seperti asinetobakter, flavobakterium, dan alkaligenes, juga dapat terlibat. Disamping bertambahnya frekuensi pneumonia karena basil Gram-negatif, Staphyllococcus aureus koagulase negatif, enterokokus dan streptokokus lain tetap penting sebagai penyebab infeksi nosocomial pneumonia. Spesies legionela sering terdapat pada persediaan air di rumah sakit. Air steril, pembatasan pemakaian nebulizer, prosedur desinfektan modern, pemakaian disposable dan reservoir air panas superheating semuanya berguna dalam penurunan penyebaran spesies legionella.
d.      Bakteremia dan Infeksi Nosokomial pada Kateter Intravena

Pada tahun 1962 program pengendalian infeksi di rumah sakit di Amerika Serikat tidak dapat membuktikan bahwa pemberian intravena sebagai sumber infeksi nosokomial. Penelitian perspektif menandakan bahwa hasil biakan positif dari kanula bervariasi antara 8,5-11,5% untuk jarum metal, dan 3,8-57% untuk kateter plastik. Kejadian sepsis dalam klinik lebih rendah, bervariasi sebesar 8% (rata-rata 2% untuk pemasangan IV 48 jam atau lebih). Infeksi yang berhubungan dengan IV terjadi lebih kurang 5% dari semua infeksi nosocomial, dan lebih kurang 10% dari biakan darah positif yang disebabkan oleh kontaminasi pemberian IV.
Mikroorganisme dapat masuk pada setiap tempat sepanjang pemasangan kateter IV atau sebagai akibat manipulasi sesudahnya. Kontaminasi dapat terjadi pada setiap tempat sepanjang selang, tempat selang bertemu dengan kanula, atau tempat bertemu antara jarum dengan botol/kantung. Cairan IV jarang terkontaminasi pada saat pembuatannya di pabrik, pada saat penambahan obat-obatan sebelum dipakai, atau sebagai akibat kontaminasi waktu sedang dipakai. Bakteri yang paling berperan pada terjadinya infeksi IV ialah stafilokokus (S. aureus dan S. epidermidis), spesies klebsiela (klebsiela, enterobakter, dan seratia), enterokokus dan Pseudomonas aeruginosa.

Cara mengurangi Infeksi pada Pemasangan Kateter Intravena

Untuk mengurangi terjadinya infeksi pada pemasangan kateter IV, tentukan indikasi yang tegas, kemudian perhatikan hal-hal yang berhubungan dengan a- dan antiseptic sebagai berikut.
·         Bila memungkinkan pergunakan jarum stainless steel dibandingkan kateter plastic
·         Pasanglah kanula secara steril, termasuk cuci tangan, sarung tangan steril
·         Lakukan desinfektans secara adekuat pada tempat pemasangan kateter IV, dapat digunakan iodine tincture 1% atau 2% untuk 30 detik diikuti dengan alkohol 70%, dapat pula mempergunakan alcohol 70% diikuti pemakaian iodofor, atau alcohol 70% lebih lama (>1 menit)
·         Cegah cara maju mundur kateter saat pemasangan
·         Pakailah kain steril di atas pemasangan kateter IV
·         Gantilah kateter IV setiap 48 jam

e.       Infeksi Nosokomial Pasca Prosedur Bedah

Infeksi nosokomial pasca prosedur bedah terdiri dari operasi kardiovaskular, operasi neurologik dan operasi ortopedi.
1.      Operasi Kardiovaskular
Pasien penyakit jantung bawaan (PJB) mempunyai risiko tinggi untuk terjadi infeksi respiratory syncytial virus (RSV) yang berat. Infeksi nosocomial ini terjadi karena organisme mencapai tempat infeksi selama dilakukan operasi atau pada periode pasca operasi sebagai akibat bacteremia pada pemasangan kateter IV, atau infeksi kateter intrakardia transtorakal. Sedangkan infeksi yang terjadi lambat, kurang fatal (CFR kurang lebih 30%) dan biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang berhubungan dengan endocarditis subakut yang disebabkan oleh streptokokus alfa hemolitik, enterokokus, walaupun stafilokokus dan basil Gram-negatif juga dapat berperan pada sejumlah kasus.

2.      Operasi Neurologik
Meningitis pasca operasi, meningitis dan ventrikulitis berhubungan dengan pemasangan kateter indwelling  untuk monitor, dan infeksi pirau serebrospinalis adalah penyebab penting morbiditis infeksi nosokomial di ruangan bedah saraf. Sebagian besar infeksi luka superfisial sesudah operasi saraf disebabkan oleh S. aureus atau S. epidermidis. Infeksi operasi yang lebih dalam, termasuk meningitis, lebih sering disebabkan oleh basil enterik Gram-negatif dan pseudomonas.

3.      Operasi ortopedi
Kebanyakan infeksi ortopedi terjadi akibat infeksi endogen dari flora kulit pasien sendiri pada waktu operasi. Walaupun demikian pentingnya, dalam kepustakaan kontaminasi luka melalui udara tetap diperdebatkan. Pada keadaan yang jarang penyebaran endogen dari focus infeksi yang jauh dapat terjadi. S. aureus penyebab tersering pada infeksi ortopedi. Kuman nosokomial lain yang penting termasuk S. epidermidis, basil enterik Gram-negatif, pseudomonas dan enterokokus.
Pemberian antibiotik aktif pra-operasi terhadap stafilokokus menjadi standar untuk berbagai prosedur ortopedi elektif, walaupun efikasi profilaksis seperti itu untuk banyak prosedur bersih belum dibuktikan secara konklusif dan regimen obat yang biasa tidaklah efektif untuk stafilokokus yang resiten terhadap metasilin

2.      Infeksi  Nosokomial di Ruang Perawatan Anak

Infeksi Nosokomial di Ruang perawatan anak yang terbanyak adalah infeksi virus baik pada saluran nafas maupun saluran cerna.

a.      Infeksi Saluran Nafas
Sejumlah virus dapat berperan pada kejadian luar biasa infeksi nosokomial diruang perawatan anak, terutama pada kasus imunosupresif. Karena terbatasnya pengobatan yang efektif dan spesifik untuk kebanyakan virus, perhatian yang lebih besar ditunjukkan terhadap pencegahan dan kontrol secara epidemiologik. Pada infeksi nosokomial yang disebabkan virus, RSV merupkan penyebab yang terpenting dan dapat menimbulkan apnea serta kematian yang tidak disangka pada neonatus, infeksi yang berlansung lama pada pasien dengan imunoikompromais, ISPA berat pada anak dengan fungsi jantung atau pernafasan yang marginal, serta bronkiolitis pada bayi normal. Selama epidemi RSV, sering terjadi infeksi nosokomial. Tangan petugas rumah sakit tampaknya sangat berperan pada penyebaran RSV. Sedangkan infeksi nosokomial virus yang  sering mengenal saluran cerna adalah rotavirus.

b.      Infeksi Gastrointestinal
Manifestasi infeksi nosokomial saluran cerna yang paling sering terjadi adalah diare atau kombinasi diare dan muntah-muntah, terjadi melalui oro-fecal route, walaupun melalui makanan dan airpun dapat terjadi.
Mikroorganisme yang berperan pada nosokomial saluran cerna ialah E.coli, kamfilobakter, salmonela,dan shigela. Enterokolitis pasca operasi dan pada neonatus terjadi karena overgrowth dari Clostridium difficile atau patogen lain. Hubungan antar jalur E.coli tertentu dengan diare infantil diperkirakan telah diketahui sejak tahun 1923. Pada akhir tahun 1940, ditemukan serotipe E.coli spesifik pada kejadian luar biasa penyakit diare dikamar bayi, dan serotipe ini dikenal sebagai Enteropathogenic E.coli (EPEC). Seluruh enterotoksin telah dibuktikan menyebabkan penyakit diare pada manusia dan ada hubungannya dengan kejadian luar bias dikamar bayi. Di samping produksi enterotoksin, E.coli dapat menimbulkan diare dengan perlekatan (adhesi) pada mukosa usus kecil (Enteroadheren E.coli) atau Enterohaemorrhagic E.coli 0157H7).
Uji spesifik yang senstif ( termasuk pelacak DNA) telah dikembangkan untuk jalur yang memproduksi toksin ini di samping untuk enteropatogen lain, tetapi banyak laboratorium yang belum dapat melakukannya. Salmonelosis lebih sering terjadi pada anak yang lebih besar dengan puncak insidens 6 bulan-2 tahun , tetapi dapat pula terjadi kejadian luar biasa diruang abyi. Infeksi silang tercatat terjadi pada lebih kurang 40% dari kejadin luar biasa nosokomial salmonelosis atau lenih kurang 25% dari kasus nosokomial dengan sumber umum. Telah dilaporkan kejadian luar biasa dari beberapa macam bahan makanan, poduk medik dan farmasi. Pasien dengan operasi lambung, hemoglobinopati, mendapat pengobatan antibiotik, imunosupresif tampaknya lebih sensitif terhadap infeksi salmonela. Nosokomial shigelosis relatif jarang, karena manusia merupakan satu-satunya reservior penting untuk infeksi (tidak ada status karier lama seperti pada salmonela) dan dalam prakteknya rumah sakit pada umumnya dapat mencegah penyebaran oro-fecal infection.
Yersinia enterocolitica telah dilaporkan menyebabkan infeksi pada petugas rumah sakit sesudah terpapar dengan anak yang infeksius. Enterokolitis karena Cdifficile lebih sering terjadi pada pasien dengan flora usus normal telah berubah karena pemberian antibiotik. Kejadian luar biasa gastroenteritis akut non-bakteri dapat terjadi dirumah sakit anak, baik diperawatan umum maupun dikamar perawatan bayi. Banyak kejadian luar biasa ini disebabkan oleh reovirus (rotavirus atau duovirus). Nayatnya dibebearapa daerah virus ini sebagai penyebab tunggal gastroenteritis di antara anak dan bayi yang dirawat. Kejadian luar biasa giardiasis dan kriptosporidiosis meningkat di antara pasien balita yang mendapat mainan dalam fasilitas kamar bayi.

Infeksi nosokomial saluran cerna yang berhubungan dengan infeksi silang di ruang perawatan anak.
Diare Basiller




Gastroenteritis non-bakteri

Lain-lain
E.coli
Salmonela
Shigela (jarang)
Yersinia enterocolica (sangat jarang)
Reovirus-like agent
Entamoeba histolytica

Hepatitis A
Hepatitis B
Enterovirus
Adenovirus

3.      Infeksi Nosokomial di Ruang Perawatan Bayi
Angka infeksi nosokomial tertinggi di rumah sakit anak ialah infeksi di kamar bayi. Infeksi ini berhubungan dengan pemakaian alat-alat invasif seperti vena sentral. Dibandingkan dengan tipe lain, ruang perawatan intensif dan kamar perawatan bayi mempunyai risiko tinggi terhadap bakteremia, sedangkan angka infeksi pneumonia dan saluran kemih lebih rendah.
a.      Infeksi Stafilokokus
Sebelum pemakaian penisilin secara luas, Stretococcus beta hemolitycus grup A banyak menimbulkan kejadian luar biasa infeksi dikamar bayi. Pada tahun 1950 dan 1960-an stafilokokus menggantikan streptokokus sebagai patogen utama dikamar bayi dan akhir-akhir ini basil enterik Gram-negatif dan Streptococcus grup B lebih sering terjadi. Bayi dapat menjadi karier infeksi S.aureus segera sesudah lahir. Sesudah dirawat dikamar bayi, bayi lebih sering mengalami kolonisasi oleh jalur S.aureus yang dibawa dari kamar bayi dan petugaskamar bayi daripada jalur yang dibawa oleh ibu.
Selama kejadian luar biasa infeksi stafilokokus dapat ditemukan pada kulit, hidung, dan umbilikus bayi; status karier dapat bervariasi antara 30-80% sesudah dirawat beberapa hari di kamar bayi. Ada atau tidaknya diseminator stafilokokus di antara petugas kamar bayi, mencuci tangan ketat di antara kontak dengan bayi, tipe perawatan kulit bayi, karakteristik galur stafilokokus, jumlah dan kualitas petugas yang adekuat, serta lama perawatan di kamar bayi mempengaruhi besarnya risiko karier. Upaya untuk mengontrol infeksi S.aureus di kamar bayi termasuk penekanan pentingnya mencuci tangan para petugas perawatan dan perawatan topikal umbilikus dengan germicides, mupirosin tampaknya mempunyai keuntungan terhadap galur S.aureus yang resisten terhadap metasilin.
Infeksi stafilokokus pada neonatus biasanya timbul sebagai ruam kulit, omfalitis, paronikia, atau konjungtivitis purulenta. Pustula atau lesi impetigo merupakan manifestasi terbanyak pada bayi. Impetigo bullosa dapat terjadi pada kejadian luar biasa dikamar bayi.Piodermadapat progresif menjadi selulitis luas atau abses subkutan. Dapat juga terjadi mastitis maternal atau pada bayi.
Pneumonia merupakan manifestasi serius infeksi stafilokokus pada neonatus. Keadaan ini dapat didahului dengan pioderma. Pada anak yang lebih besar pneumonia karena stafilokokus pada neonatus dapat menimbulkan penyulit dengan pembentukan pneumotoraks, empiema, atau sepsis. Sepsis karena stafilokokus dapat berasal dari kulit, saluran nafas, saluran cerna, atau kateter indwelling. Lokalisasi infeksi dapat berasal dari setiap tempat bagian tubuh, dapat menyebabkan akses, endokarditis, perikarditis, meningitis, osteomielitis, atau artritis septik. Dengan memperpendek perawatan dikamar bayi, banyak infeksi yang dapat dideteksi hanya dengan surveilans perawatan yang efektif. Stafilokokus koagulase negatif ( S.epidermidis) merupakan penyebab utama bakteremia nosokomial di NICU. Hal ini disebabkan karena kateter intravena (terutama vena sentral) disamping berat badan lahir rendah dan lama perawatan merupakan faktor risiko. Pemberian emulsi lipid intravena merupakan faktor risiko yang kuat. Pembentukan biofilm atau lendir oleh S.epidermidis tampaknya meransang kolonisasi dalam kateter yang melindungi stafilokokus dari pembersihan oleh mekanisme tubuh.

b.      Infeksi Basil Gram-Negatif

Saluran cerna, saluran nafas, dan saluran kemih merupakan tempat masuknya basil basil gram-negatif. Sepsis, sindroma distress pernafasan pada neonates, meningitis, dan ventrikulitis merupakan manifestasi klinis yang sering dijumpai. Bayi premature dan neonates yang memerlukan monitor atau bantuan nafas yang invasif umumnya merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi basil gram-negatif. Infeksi ini sering terjadi dengan gejala nonspesifik seperti apnea, bradikardia, kemampuan minum jelek, letargi, dan temperature yang tidak menentu.
E.coli dan spesies klebsiela merupakan koloni usus yang dominan, walaupun organisme nosocomial lain dapat menimbulkan infeksi bayi yang baru lahir termasuk spesies enterobakter, seratia, asinetobakter, pseudomonas, dan flavobakterium. Pseudomonas sepasia dan organisme lain dapat berkembang dalam keadaan lembab, lingkungan nutrisi yang kurang, dan sering menimbulkan kejadian luar biasa di kamar bayi.

c.       Infeksi streptokokus grup B

Streptokokus beta hemolitikus dari Lancefield grup B timbul sebagai pathogen yang penting pada wanita yang melahirkan dan mengkontaminasi neonates. Sejak tahun 1961 streptokokus grup B dicatat sebagai penyebab infeksi pernatal yang serius, baik pada bayi maupun pada ibu. Kemudian banyak laporan sepsis neonatorum, meningitis neonatal, dan infeksi pasca partum yang disebabkan oleh grup streptokokus. Insidens infeksi streptokokus bervariasi di lokasi yang berbeda, streptokokus grup B sekarang menyaingi E.coli dan basil enteric Gram-negatif lain sebagai pathogen pada masa neonatal. Pada beberapa rumah sakit, streptokokus grup B merupakan penyebab utama meningitis pada neonates, dan dilaporkan bertambahnya pneumonia dan sepsis pada neonates yang disebabkan oleh bakteri ini.
Kolonisasi saluran genital ibu yang melahirkan dan diikuti transfer infeksi intrapartum merupakan sumber yang biasa terjadi pada infeksi perinatal. Perbedaan dalam teknik pengumpulan specimen dan isolasi bakteri merupakan varian luas kolonisasi saluran genitalia yang disebabkan streptokokus grup B pada ibu hamil. Carriage rate bervariasi dari 4,6-29% pada ibu hamil, 1,2-37% pada neonates, dan 14,6-43%  pada petugas kamar bayi.
Didapatkan dua keadaan yang berbeda pada neonates yang terinfeksi. Pertama penyakit yang timbul cepat (early onset) mulai 48 jam pertama kehidupan yang ditandai dengan terkenanya banyak sistem organ, disertai pneumonia dan distress pernafasan. Dapat di isolasi 5 serotipe streptokokus grup B (Ia, Ib, Ic, II/III). Kedua, penyakit yang timbul lambat (late onset) berupa meningitis, mempunyai mortalitas yang lebih rendah, dan hamper seluruhnya disebabkan oleh organisme tipe III. Terdapat sedikit kesangsian apakah transmisi organisme grup B intrapartum menyebabkan early onset karena serotype yang sama biasanya dapat ditemmukan dari bayi yang terinfeksi dari saluran genital ibu. Epidemiologi penyakit yang late onset tidaklah jelas.
Terapi pencegahan ibu karir belum terbukti dapat mengeradikasi streptokokus dari saluran genital ibu, walaupun demikian terapi koloni ibu yang melahirkan dan bayi baru lahir dengan ampisilin atau penisilin menurunkan kemungkinan kolonisasi neonatal dan infeksi.terapi pencegahan dengan cara menginduksi imuunitas melalui imunisasi aktif atau pasif ibu, neonatus atau keduanya.

d.      Infeksi virus

Diantara virus yang telah diperlihatkan menyebar di unit neonatal ialah RSV, reovirus-like agents, virus para influenza tipe III, ortomiksovirus, enterovirus, virus rubella, virus herpes, dan sitomegalovirus. Pasien di unit bayi merupakan resiko mendapat RSV jika virus tersebut mempunyai prevalensi tinggi di masyarakat.
Penyebaran RSV ke pasien lain terjadi lebih sering melalui kontak daripada melalui udara, dan petugas ruangan yang terinfeksi berperan dalam penyebaran virus kepada pasien lain. Mordiditas RSV diantara bayi yang dirawat agak besar, dan lebih kurang 1/3 yang terinfeksi timbul infeksi saluran nafas bagian bawah. Dapat pula bermanifestasi sebagai gejala spesifik seperti apnea. Risiko mortalitas terutama besar pada bayi dengan PJB. Diperkirakan lebih kurang 1% bayi yang lahir di Amerika mengeluarkan sitomegalovirus dalam urinnya. Walaupun bayi seperti itu mungkin merupakan sumber penyebaran virus kepada petugas rumah sakit dan kepada bayi yang lain, besar risiko ini tampaknya kecil. Ibu hamil atau wanita yang merencanakan hamil dapat dicegah mendapat sitomegalovirus dengan memperhatikan hygiene selama kehamilan, terutama pada setiap keadaan mereka kontak erat dengan baik atau anak.
Bayi dengan sindroma rubella kongenital tetap infeksius untuk waktu yang lama, mengeluarkan virus dari faring, urin ata feces. Pasien itu dikatakan mempunyai risiko tinggi untuk ibu hamil yang rentan atau yang diusahakan menjadi hamil. Infeksi herpes simplex dapat menimbulkan penyakit yang mematikan pada neonates, walaupun beberapa bayi baru lahir mempunyai manifestasi lesi kulit vesicular yang tak bermakna, infeksi sistemik lain yang fulminant berupa ensefalitis, hepatitis dan pneumonia. Infeksi herpes virus didapat melalui transmisi tranplasental atau melalui transmisi intrapartum dengan kontak pada membrane mukosa ibu yang infeksius.
Penyebaran kontak dari bayi yang infeksius melalui tangan petugas dan kemudian menular kepada bayi lain diruang anak. Meningginya infeksi wanita umur reproduktif dengan HIV telah terjadi dengan bertambahnya jumlah bayi yang terinfeksi HIV. Lebih kurang 10-30% bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi mendapat virus ini. Pada semua kasus, darah, cairan tubuh tertentu berpotensi infeksius. Hal ini penting di NICU oleh karena begitu banyaknya kesempatan bagi petugas rumah sakit untuk kontak dengan bahan yang potensial infeksius. (Sumarno S. Poorwo, Infeksi dan Pediatri Tropis

G.    Sumber-Sumber Infeksi Nosokomial

Sumber infeksi nosocomial dapat dibedakan 2 melalui  tindakan yaitu:

1.      Tindakan Invasif atau tindakan operatif

a.      Petugas kesehatan (medis/keperawatan) :
1)      Tidak memahami teknik yang baik untuk mencegah penularan/penyebaran kuman pathogen
2)      Tidak menyadari tindakan yg dilakukan berpotensi untuk mengkontaminasi kuman
3)      Tidak memperhatikan personal hygiene
4)      Menderita/menularkan penyakitnya pada klien
5)      Tidak melaksanakan teknik aseptik dengan baik
6)      Tidak mengusai PROTAP tindakan dengan baik
7)      Bekerja ceroboh/kurang hati-hati
8)      Tidak mencuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan klien
9)      Melakukan cuci tangan dengan teknik yang tidak benar

b.      Alat-alat kesehatan/equipment :
1)      Alat -alat yg digunakan dalam keadaan kotor, tidak steril atau korosif
2)      Cara penyimpanan tidak baik
3)      Digunakan berulang kali tanpa didisinfeksi lagi
4)      Kadaluarsa

c.       Kondisi Pasien :
1)      Hygiene personal buruk
2)      Status gizi buruk /malnutrisi
3)      Menderita penyakit kronis; penyakit infeksi; penyakit menular
4)      Mengkonsumsi obat-obatan Imunosupresif (menekan sistem imun tabufe) Lingkungan
5)      Ventilasi yang tidak adekuat
6)      Penerangan /sinar matahari yang kurang
7)      Ruangan yang lembab dan kotor
8)      Ada air tergenang
9)      Banyak serangga

2.      Tindakan Non Invasif

Tindakan non invasif merupakan tindakan medis/keperawatan tanpa memasukkan alat kesehatan kedalam tubuh klien. Contohnya: tindakan pemeriksaan EKG, USG, Tredmill, pengukuran tekanan darah, nadi, suhu tubuh, refleks tonus dll.

a.      Pasien dengan pasien lain
Pasien yang menderita penyakit menular dapat menularkan penyaktinya pada pasien lain

b.      Pasien dengan petngas kesehatan
Petugas kesehatan yang menderita penyakit menular/infeksi dapat menularkan penyakitnya pada pasien yang sedang dirawat.

c.       Pasien dengan pengunjung
Pengunjung yang menderita penyakit infeksi dapat menularkan penyakitnya pada pasien yang sedang dirawat di rumah sakit

d.      Pasien dengan alat-alat kesehatan
Alat-lat kesehatan yang digunakan untuk merawat pasien dapat mengakibatkan infeksi jika kondisi alat tidak steril /terkontaminasi kuman

e.       Pasien dengan lingkungan
Lingkungan yang kurang baik (lembab, debu dan kurang sirkulasi) dapat mengakibatkan pasien mengalami kondisi yang lebih buruk dan meningkatkan pertumbuhan kuman

f.       Pasien dengan air
Air yang tercemar kuman patogen dapat mengakibatkan penyakit pada pasien

g.      Pasien dengan makanan
Makanan yang tercemar kuman patogen/makanan yang tidak segar dapat menyebabkan penyakit pada pasien.

H.    Prosedur Pelaksanaan Pencegahan Infeksi Nosokomial

a.      Cuci Tangan
Teknik mencuci tangan yang baik merupakan satu-satunya cara yang paling penting untuk mengurangi penyebaran infeksi.Dengan cara menggosok tangan dengan sabun atau deterjen dan air kuat kuat selama 15 detik dan dibilas baik baik sebelum dan sesudah memeriksa penderita,sudah cukup .Namun bila selama merawat penderita,tangan terkena darah,sekresi luka,bahan bernanah,atau bahan yang lain yang di curigai maka harus di cuci selama 2 sampai 3 menit dengan menggunakan bahan  cuci antiseptic.

b.      Asepsis
Asepsis adalah penghindaran atau pencegahan penularan dengan cara meniadakan mikroorganisme yang secara potensial berbahaya. Tujuan asepsis ialah mencegah atau membatasi infeksi.di rumah sakit digunakan 2 konsep asepsis yaitu asepsis medis dan bedah.Asepsis Medis meliputi segala praktek yang di gunakan untuk menjaga agar para petugas medis,penderita dan lingkungan terhindar dari penyebab infeksi,seperti cuci tangan,sanitasi dn kebersihan lingkungan rumah sakit itu hanyalah beberapa contok asepsis medis.Asepsis Bedah meliputi cara kerja yang mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam luka dan jaringan penderita.Maka dari itu dalam asepsis bedah semua alat kesehatan harus berprinsip steril,lingkungan harus bersanitasi,dan juga flora mikroba di udara harus di saring lewat filter berefisiensi tinggi.
c.       Disinfeksi dan Sterilisasi di Rumah Sakit
Banyak rumah sakit mempunyai pusat penyediaan yaitu tempat kebanyakan peralatan dan suplai dibersihkan serta di sterilkan.Hasil proses ini di monitor oleh laboratorium.mikrobiologi secara teratur.Kecenderungan rumah sakit untuk menggunakan alat alat serta bahan yang di jual dalam  keadaan steril dan sekali pakai.karena dapat mempersingkat waktu tanpa harus mensterilkan alat,tetapi juga dapat mengurangi pemindah sebaran patogen melalui infeksi silang.

d.      Sanitasi Lingkungan Rumah Sakit
Tujuan sanitasi lingkungan adalah membunuh atau menyingkirkan pencemaran atau mikroba dari permukaan.Untuk mengevaluasi prosedur dan cara-cara untuk mengurangi pencemaran,dilakukan pengambilan contoh mikroorganisme sewaktu-waktu dari permukaan lantai.

e.       Pengawasan Infeksi
Ialah pengamatan dan pengawasan serta pencatatan secara sistematik terjadinya penyakit menular,ini merupakan dasar bagi usaha pengendalian aktif. Identisifikasi dan evaluasi masalah-masalah infeksi nosokomial dan pengembangan serta penilaian pengendalian efektif hanya dapat dicapai denagn adanya pengawasan teratur terhadap infeksi-infeksi semacam itu pada penderita.

f.       Pengawasan Penderita atau Pasien
Pengawasan infeksi penderita di mulai ketika masuk rumah sakit dengan menyertakan kartu data infeksi di dalam catatan medis penderita.Data yang di kumpulkan setiap hari mengenai biakan dari laboratorium mikrobiologi serta dari hasil inspeksi laboratoris dan klinis di catat pada setiap kartu data infeksi setiap penderita.

g.      Pengawasan Pekerja Rumah Sakit
Pemeriksaan fisik harus merupakan persyaratan bagi  semua petugas rumah sakit,dan catatan imunisasi harus diperiksa.Bila tidak tercatat,maka imunisasi terhadap penyakit polio,tetanus,difteri,dan campak harus di isyaratkan.Petugas yang menunjukkan hasil positif pada uji tuberculin harus diperiksa dengan sinar x di bagian dada untuk menentukan kemungkinan adanya tuberculosis aktif.

h.      Pengawasan Lingkungan Rumah Sakit
Bila perawat pengendalian infeksi menemukan satu atau lebih kasus infeksi baru,maka mungkin diperlukan banyak biakan dari penderita,petugas dan lingkungan untuk menemukan sumber patogen dan lalu meniadakanya.